Beranda

Langsung ke konten utama

Ulasan I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TTEOKPOKKI



Judul Buku: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Penulis: Baek Se Hee
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Tahun Terbit: 2020
Cetakan: Ke-13
Penerbit: Haru
Jumlah halaman: 236
Where to get: Shopee Owl Bookstore
Zey's Review: 4.5/5 

BLURB 
Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja? 
Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki? 
Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri. 

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya. 

Buku self-improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat best seller di Korea Selatan. 

REVIEW 
Fyi, aku sudah lama penasaran dengan buku-buku dari penulis Korea Selatan, terutama yang berbentuk esai dengan tema lesson of life. 

Banyak drama-drama Korea yang mengadaptasi buku/novel lantas menyelipkan beberapa bagian buku tersebut secara magis di dalam drama. Seperti When The Weather is Fine contohnya, yang diangkat dari novel. 

Kata-katanya indah nan mendayu, permisalan-permisalan unik dari hal-hal yang bahkan jarang kita perhatikan. Aku sampai berpikir mungkin inspirasi sastra mereka lebih kaya karena alam-alam Korea dengan empat musimnya begitu menakjubkan. 

Dan aku menjatuhkan pilihan 'penasaran' tadi itu pada buku bersampul merah muda keunguan ini. Hype nya ramai sekali diantara penikmat buku ataupun penyuka Korea sepertiku. Salah satu psikiater yang kufollow, dr. Jimmie Ardian juga sempat merekomendasikan buku yang beliau tulis kata pengantarnya ini. 

Awal membaca, kukira dia akan berbentuk prosa macam beberapa karya penulis tanah air. Tapi ternyata Baek Se Hee memasukkan transkrip rekaman konsultasinya dengan sang psikiater, barulah dia memasukkan pendapat pribadinya di akhir masing-masing bab. 

Gaya penulisan itu sedikit banyak membuatku kecewa karena ini tak lebih dari membaca diary kehidupan seseorang. 

Tapi ternyata diary itu yang justru membuat buku ini jadi relatable bagi banyak orang. 

Apa yang dialami Baek Se Hee, apa-apa yang dia curahkan pada psikiaternya terasa dekat. Seolah-olah akulah yang ada di posisi pasien dan sedang berkonsultasi tatap muka tentang masalah hidupku pada psikiater. 

Mungkin itulah yang betulan menjadikan buku ini menjadi best seller nomor satu di negaranya. 

Kita merasa ditemani ketika membaca buku. Kita tak sendirian mengalami semua kesulitan. Ada Baek Se Hee, teman-teman dan keluarganya yang juga menghadapi permasalahannya masing-masing. 

Semua itu terasa 'kita banget' sekaligus menjadi sarana healing karena buku ini dihadirkan dari sudut pandang psikiater juga. Buku ini sepertinya akan cocok buat kamu yang secara psikologis sedang jenuh. 

Jjang!! 










Komentar