![]() |
Source: Gardening Know How |
“Akh,
bulan ini naeknya cuma dikit. Tau ah, kesel!” Mika menggebrak meja belajar sebal.
Rambutnya berantakan, efek menatap layar komputer sambil harap-harap cemas. Dia
keluar kamar dengan membanting pintu, berjalan cepat menuju dapur.
Bunda
yang sedang menggunting-gunting tangkai mawar di ruang tengah sampai mengangkat
bahu terkejut. “Sayang, berapa kali bunda bilang, hati-hati nutup pintunya.”
Mika
tak menjawab. Dia justru muncul dari balik pintu dapur satu menit kemudian
dengan wajah tertekuk sambil membawa segelas jus jeruk dingin. Dia melemparkan
tubuh ke sofa di sebelah bunda. Jus di genggaman hampir memercik karena
guncangan.
“Mika
lagi kesel, Bunda!” serunya, mengunyah potongan es batu dengan cepat.
Bunda
merangkai mawar yang telah rapi di vas. “Kenapa kok gitu?” tanyanya tenang.
“Subscriber
Mika bulan ini cuma nambah sedikit, Bunda. Padahal temen-temen sekomunitas yang
mulai bareng Mika udah dapet satu jutaan. Mika setengahnya aja belum dapet.
Sebel. Kenapa sih perkembangannya lelet amat. Mika iri!”
Bunda
sebenarnya ingin tertawa geli, tapi dia tahan. Bisa-bisa putrinya ini ngambek sampai
besok pagi. Bawaan anak tunggal, kadang-kadang manjanya setengah mati.
“Mika
mau makan apel nggak? Pagi ini bunda lihat buahnya sudah matang. Gemuk-gemuk.
Cantik lagi warnanya.”
“Ih,
Bunda. Mika lagi kesel malah ditawarin apel,” wajahnya makin kusut. Tapi lima
detik kemudian, saat Bunda beranjak menuju kebun belakang, Mika mengikuti. Marahnya
menguap separuh mendengar buah favoritnya disebut.
Benar
kata Bunda, buahnya segar dan ranum, bergelantungan di dahan. Semburat merah
muda di kulitnya tampak indah. Padahal beberapa hari lalu saat dia mampir ke
kebun, belum secantik ini tampilannya.
“Nih,”
Bunda menjulurkan satu buah setelah menggosok-gosokkannya terlebih dahulu di ujung
baju. Mika menerima dan langsung menggigit. Segar. Teksturnya renyah. Rasa
manisnya intens sampai-sampai hampir menyamai gula.
Bunda
tersenyum melihat wajah cerah Mika. Dia merangkul pundak putrinya. “Sayang,
kamu tahu bagaimana apel di tanganmu bisa seenak itu?”
“Bibit
terbaik? Varian apel yang emang manis? Mmmm kayaknya karena yang makan juga
manis deh, Bunda,” Mika nyengir, masih mengunyah. Suara kres samar terdengar saat
giginya melumat sebongkah daging buah.
Bunda
tergelak atas kalimat itu, memperbaiki helai rambut Mika yang berantakan dengan
sayang.
“Yah,
benar juga. Tapi...” Bunda memberi jeda, meminta perhatian putrinya. “Ada satu
hal yang tak kalah penting.”
“Apa
tuh, Bunda?”
“Kesabaran
berproses.”
Sepertinya
Mika tahu arah pembicaraan ini. Dia memutuskan berhenti makan, menyimpan sisa
apel di tangan, takzim mendengarkan.
Tatapan
Bunda menyisir seluruh kebun. Petak warisan dari kakek yang juga gemar bercocok
tanam. Bunda mewarisi keterampilannya. “Apel segar yang sekarang kamu makan,
begitu pula tanaman lainnya, butuh waktu untuk menghasilkan ‘sesuatu'. Tidak
bisa tanam sekarang besok berbuah. Menyemai kemarin, hari ini berbunga.”
“Nah,
menurut Bunda, keadaanmu sekarang persis dengan apel favoritmu dan tanaman
lainnya di kebun ini. Mereka berproses dan tumbuh dengan sabar bersama
penanamnya, mengikuti ritme alam yang disediakan Tuhan. Tidak terburu-buru,
sebab semua punya timingnya masing-masing.”
***
Mika
menatap layar ponsel dengan puas. Video berkebun terbarunya sudah mencapai 1 juta
tayangan, padahal hanya 6 jam lalu dia unggah. Ide Bunda setelah memberi
wejangan 3 tahun lalu itu memang jos.
“Kapan
lalu, Bunda nggak sengaja nonton videonya gadis Cina, Liziqi apa ya namanya. Kontennya
berkebun gitu. Adem nontonnya, berasa lagi diterapi. Subscriber nya juga
udah lumayan, padahal videonya baru sedikit. Kenapa kamu nggak coba itu,
sayang? Kayaknya di Indonesia belum ada yang bikin.”
“Bisa
tuh, Bunda. Mika ngerekam, Bunda yang berkebun.”
“Boleh.
5 persen gaji adsense buat Bunda ya.”
“Terlalu
dikit, Bunda. 3 persen aja deh.”
“Ya
udah, Bunda nggak mau.”
“Bercanda,
Bunda. Deu cemberut hahahaha. Kalo subscriber udah 2 juta, Mika
naikin 10 persen. Nggak deh, 15 persen. Oke? Oke? 10 persen? Oke! Deal!”
Saat
sedang asyik menggulir layar, ada chat baru dari Ayah. Mika segera membukanya.
“Selamat ulang tahun ke-21, sayang. Ayah harap kamu tetap sehat dan bahagia,
cepat selesai juga skripsinya. Ayah sudah mendarat, lagi antri periksa suhu
tubuh. Mika mau pie apel seperti biasa?”
Mika
segera menjawabnya dengan gif anggukan kencang. Tak lupa menambahkan emotikon waru
merah besar yang berdenyut pada Ayah. Dia lantas menekan tombol home, menatap
wallpaper ponselnya. Potret dengan latar rumah sakit, Bunda yang
tersenyum di atas kursi roda, Ayah berseragam pilot dan dirinya yang memeluk Bunda.
Life
is all about timing. Termasuk masa hidup Bunda yang sudah usai di dunia.
Mika
akan selalu mengingat nasehat itu. Dan meski Bunda sudah tiada, dia berjanji
akan selalu merawat semua sentuhan tangan Bunda di kebun ini. Belajar kesabaran
berproses bersama wortel, kentang, bugenvil, mawar dan apel kesayangannya.
Mika
beranjak dari teras, meraih selang air, menyetel volume di ambang maksimal. Dia
menatap pohon apel di hadapan dengan ceria, mengguyur seluruh bagian tanpa
terkecuali.
Comments
Post a Comment
Komentar anda akan ditampilkan setelah ditinjau